Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat
bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk
dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam
setiap generasinya- lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan
oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan
pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan
orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan
oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu
tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau
berasal dari Kabilah Quraisy yang
terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani
Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib
(Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd
(salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab
(julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa
sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan
beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin
As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf
bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik
bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu, 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i
dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man
bin Tsabit Al-Kufirahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran
beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam
Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara
tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat
Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di
Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan
tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk
salah satu darinya. (LihatManhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya
Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan,
yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang
masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil
tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau
demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar
menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan
bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi
Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya
(keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan
dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil
menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila
nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak
kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran
beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah
beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau
bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul
atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya,
sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau
terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat
(bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada
diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan
menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada
beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj
Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut
ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i
kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau
untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan
siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu
bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang
berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail
-saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi
mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di
perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian
riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh
tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa
Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam
Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul
Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang
lainnya.[2] (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan
Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i
1/102)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada
Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin
Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh
bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari
Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan
bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah
Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku
demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena
pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama
kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian
kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i,
1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya
dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu
negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya
(Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji,
Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin
Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin
Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak
berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i
berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah:
Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz
Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang
semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para
ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya.
Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab
Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7,
dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar
umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam
menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan
(manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi
pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau
demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang
tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab
biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua.
Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap
Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada
satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum
pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada
putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan
satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang
Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata:
“Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang
urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di
sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu
berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari
Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir
rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6)
disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan
karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya
kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling
paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali
Azh-Zhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin
Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk
berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu
(dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi
pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari
sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah
orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal
ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya
penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu
berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu
berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda
Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi
rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab
atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan
Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam
hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan
prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk
kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm
(terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab
Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari
taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang
menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah
Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan
perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior
Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan
kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari
kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring
dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun
kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa
yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad
dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal.
369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits
ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah
orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga
patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam).[3]
c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya.
Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab
beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab
Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah
yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan
dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri
kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa
pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang
disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para
makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan
wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya,
suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya.
Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan
tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala
dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang
meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang
mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan
menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian
tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang
dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam
Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta
menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu
menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan
mensucikan AllahSubhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang
senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah
diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid
Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya,
tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan
dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa
dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah,
10/265)
d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan,
dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang
dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah
dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka
selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul
bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung
kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala
berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu
wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam
An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi
Itsbatil Akidah, 2/516)
e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya
kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah
mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia
tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah
ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk
semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya,
pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar
adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar
benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di
segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
(ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah,
jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi.
Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah
terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan
yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi
di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi
atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang
bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita
ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir
dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih
baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu
a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah
Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini
sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat
dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka
adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap
kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah
Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang
menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan
pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya
kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah
Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang
berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang
berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah,
1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang
sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan,
suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i,
2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj)
beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang
penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H,
bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.[8]
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala
matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009
http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/03/19/mengenal-lebih-dekat-al-imam-muhammad-bin-idris-asy-syafi%E2%80%99i/
[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan
sebagian yang lain bukan Makkah.
[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam
Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.
[3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.
[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.
[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash
shifat.
[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.
[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik
terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam
masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus,
kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.
[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir
terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.
Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan
Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah
mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan
Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin
Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin
Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin
Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya
Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada
tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta,
bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam
usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa
pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al
Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota
tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah
dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman
lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga
sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai
sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir
sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang
terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa
cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta
mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam
atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan
kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang
menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada
usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam
Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya,
hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih
cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i:
“Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah
berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu
lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar
setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca
hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an
beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya
langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada
di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah
di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin
Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di
antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau
bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh
dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli
Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya
banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana
yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak
diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai
disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan
karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab
Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis
kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci
manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.”
(HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki
kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski
harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan
manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya,
menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan
hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang
Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam
Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat
maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai
Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia
yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang
berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai,
Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar
ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit
kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada
Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya
kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu
Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara
mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam
aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat
Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama
dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga
tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah
memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana
dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak
boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya
(nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu.
Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia
kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya.
Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori
dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan
darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan,
“Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits
yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi
shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak
mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu
yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah
sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i,
tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan
kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan
Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah,
Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil
kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak
keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab
dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang
paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204
H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup
beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk
masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin
di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i
diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang
pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari
menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah.
Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk
selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal
yang bermanfaat bagimu”.
Sumber: Majalah As-Salaam
http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=541
Tidak ada komentar:
Posting Komentar